Hanya di Indonesia, Koruptor Bisa Bebas Dari Jeratan Hukum

Hari ini aku sempat shock ketika membaca sebuah berita di detik, berikut cuplikan beritanya :

Baca entri selengkapnya »

Sekilas Tentang Kisah Sang Pemenang-Barack Obama

Calon presiden partai Demokrat Barack Obama mencetak sejarah menjadi presiden kulit hitam pertama AS.Entah ini berita berita gembira atau biasa saja bagi kita,disini saya mencoba mereview kembali perjalanan Obama hingga dia sampai ke pucuk kekuasaan di negeri Paman Sam. Baca entri selengkapnya »

Pilih Sosialisme atau Kapitalisme ?

Coba renungkan gambar di bawah ini,menurut kamu lebih baik mana antara sosialisme dibandingkan dengan kapitalisme. Baca entri selengkapnya »

MADILOG ,Tan Malaka (1943) (3)

BAB I

LOGIKA   MISTIKA

Demikianlah Firmannya Maha Dewa Rah :
Ptah : maka timbullah bumi dan langit.
Ptah : maka timbullah bintang dan udara.
Ptah : maka timbullah sungai Nil dan daratan.
Ptah : maka timbullah tanah-subur dan gurun. Baca entri selengkapnya »

MADILOG ,Tan Malaka (1943) (2)

PENDAHULUAN

IKLIM

Mokojobi, 15-6-2602. tanggal opisil kini, waktu saya menulis “Madilog’’. Dalam perhitungan “tuan’’ yang sekarang sedang jatuh dari tahta pemerintahan Indonesia itu bersamaan dengan Donderdag Juli 15, 1942. Murid bangsa Indonesia yang bersekolah Arab dekat tempat saya menulis ini, menarikkan pada hari kamis, bulan Radjab 30, 1362.

Baca entri selengkapnya »

MADILOG,Tan Malaka (1943) (1)

SEJARAH MADILOG

Ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata Cililitan Jakarta. Disini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog, ialah lebih kurang 8 bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari.

Baca entri selengkapnya »

Sosialisme Islam ala HOS Tjokroaminoto

Tahun 1924 di Mataram, HOS Tjokroaminoto yang kemudian kita kenal sebagai salah seorang pendiri dan sekaligus ketua Sarekat Islam (SI) menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Buku tersebut ditulis oleh Tjokro, di samping karena pada waktu itu tengah terjadi pemilihan-pemilihan ideologi bangsa, juga lantaran pada waktu itu paham ideologi yang digagas para tokoh dunia sedang digandrungi oleh kalangan pelajar Indonesia, di antaranya sosialisme, Islamisme, kapitalisme dan liberalisme.

HOS Tjokroaminoto sebagai intelektual dengan ghirah ke-Islaman yang tinggi ingin menjawab salah satu ide dari paham-paham tersebut terutama sosialisme yang lebih mendapat tempat di hati rakyat Indonesia. Mereka menganggap sosialisme punya misi kuat untuk kepentingan rakyat, terutama kaum buruh, petani dan kelas pekerja lainnya.

Karena itu, ia menawarkan sebuah gagasan sosialisme Islam. Tapi Tjokro sadar bahwa realisasi dari gagasan ini di tingkat praksis akan menemui kesulitan, mengingat rakyat dihadapkan pada pemilihan ideologi yang ideal. Apalagi pada saat itu sudah berkembang ideologi sosialisme dan komunisme yang dianggap lebih cocern terhadap kaum mustadh’afin.

“Islam dan Sosialisme” sendiri memuat beberapa pembahasan. Pembahasan menyangkut kaitan sosialisme dengan Islam, kehidupan bangsa Arab pra Islam (sebelum Nabi), misi Nabi Muhammad yang bersifat sosialis, sikap sosialis sahabat-sahabat Muhammad. Prototipe sosialisme ala Islam, imperialisme muslim, agama dan sosialisme, pengelolaan pemerintahan secara sosialis juga menjadi pembahasan dari buku tersebut.

Dalam buku tersebut HOS Tjokroaminoto memulai tulisannya dengan sebuah pertanyaan apakah sosialisme Islam itu. Menurutnya, sosialisme Islam adalah “sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.” Lebih jauh dia menjelaskan, “Cita-cita sosialisme di dalam Islam tidak kurang dari 13 abad umurnya dan tidak boleh dikatakan terbit daripada pengaruhnya bangsa Eropah. ..azas-azas sosialisme itu telah dikenal di dalam pergaulan hidup Islam pada zamannya Nabi kita, Muhammad SAW.”

Menurut Tjokro, Islam secara tegas melarang (mengharamkan) riba (woeker) dan dengan begitu Islam menentang keras kapitalisme. “Menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaannya lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) kebahagiannya lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan itu, –semua perbuatan yang serupa ini (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan “meerwaarde” (nilai lebih) adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan “riba” belaka,” tulisnya.

Penolakan Islam terhadap kapitalisme jelas terlihat dalam konsep dasar muamalah Islam, di mana Islam mengingatkan akan celaka orang yang mengumpulkan harta untuk kesia-siaan. Jadi dalam sistem muamalah Islam, praktek yang mengarah pada penimbunan atau penumpukan modal dan barang adalah dilarang. Demikian juga Islam melarang praktek riba karena dianggap benih kapitalisme atau meer warde dalam konsep Marx

Menurut HOS Tjokroaminoto, dasar sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad adalah kemajuan budi pekerti rakyat. Hal ini tampak dalam pernyataannya, “Menurut pendapat saya dalam faham sosialisme ada 3 anasir, yaitu “kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity).

Nilai sosialisme dalam Islam, lanjutnya, terlihat dari misi yang disandang Muhammad bahwa ia datang untuk rahmat bagi seluruh alam. Jadi sejatinya orang Islam dimanapun berada selalu menebarkan cinta kasih dalam niat dan perbuatan, menyebarkan rasa kemanusiaan yang tinggi, menjunjung nilai-nilai luhur, bukan hanya pada ideologi atau agamanya saja tapi pada kemanusiaannya juga, bukan hanya pada manusia saja tapi pada makhluk lainnya juga. Dengan demikian tidak ada lagi perusakan baik di daratan maupun lautan, tidak ada lagi eksploitasi terhadap binatang, tumbuhan dan alam lainnya.

Dalam pandangan Tjokro, keunggulan (sosialisme) Nabi bukan hanya karena ia selalu di bimbing wahyu dalam kehidupannya, tetapi juga karena dalam setiap tindakannya ia selalu menjadi orang pertama yang memperjuangkan liberalisasi dan menegakkan keadilan. Dalam hal ini, ia bukan hanya seorang pemikir saja akan tetapi ia ikut terjun di tengah umat.

Sikap inilah sebetulnya yang harus dijadikan acuan. Umat Islam harus mengambil pelajaran dari tindakan Nabi yang sangat menjunjung nilai kemanusiaan dan menentang perbudakan. Nabi mengatakan, “Tentang budak-budakmu berilah makan padanya saperti yang kamu makan sendiri, dan berilah pakaian padanya seperti pakaian yang kamu pakai sendiri. Apabila kamu tidak dapat memelihara mereka, atau mereka melakukan kesalahan, lepaskan mereka. Mereka itu hamba Allah seperti kamu juga, dan kamu harus berlaku baik-baik kepada mereka.”

Lalu azas apakah sebetulnya yang menuntun Muhammad hingga gigih memperjuangkan nilai-nilai sosialis-humanis? Dalam bukunya, Tjokro mengemukakan, azas itu tidak lain adalah “sebesar-besarnya keselamatan hendaknya menjadi bahagiannya sebanyak-banyaknya manusia, dan keperluannya seseorang hendaknya bertakluk kepada keperluannya orang banyak”

Melalui buku “Islam dan Sosialisme” itu pulalah, Ketua SI ini menuturkan sebuah tamsil tentang sosialisme Islami. Ia kemudian mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai satu kebun bernama Fidak. Setelah Nabi wafat, Fatimah, puterinya, menuntut pengembalian kebun itu kepadanya atas dasar hak-turunan.

Tetapi Khalifah Abu Bakar menolak tuntutan Fatimah, dengan alasan bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai kekayaan dengan hak bagi dirinya sendiri. Karena itu, segala sesuatu yang ditinggalkan Nabi harus menjadi kepunyaan orang banyak. Akhirnya kebun itu menjadi milik orang banyak.

Kritik atas Sosialisme Islam ala Tjokro

“Sosialisme Islam” HOS Tjokroaminoto belum menyentuh essensi al-Quran tentang kaum mustadhafin, hanya kulit luarnya saja, dan seringkali dianggap parsial sehingga tidak tuntas. Lebih dari itu, beberapa fakta yang diketengahkan dalam buku tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini bisa jadi disebabakan oleh terlalu kerasnya Tjokro dalam memperjuangkan gagasan sosialisme Islam. sementara realitas sosial waktu itu mungkin tidak memberi tempat kepadanya untuk lebih menelaah lebih jauh konsep Quran dan pengalaman sejarah Islam tentang pemberdayan mustadlafin.

Kelemahan lain bisa dilacak dari gagasan sosialisme Islam-nya yang tidak dihubungkan dengan surat al-Humazah: (l) “Celakalah (azablah) untuk tiap-tiap pengumpat dan pencela (2) Yang menumpuk harta benda dan menghitung-hitungnya”. Demikian juga sosialisme Islam ala Tjokro tidak dihubungkan dengan surat al-Qashash: 5: “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhu’afa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi”.

Intelektual Dawan Rahardjo bisa memaklumi kelemahan-kelemahan gagasan Tjokro, mengingat tokoh utama SI yang dikenal berperilaku shaleh ini belum mempelajari Islam secara mendalam. Menurut Dawam, buku “Islam dan Sosialisme” hanyalah merupakan kajian awal. Tujuan Tjokro sendiri ketika menggagas sosialisme Islam di samping untuk menguak sosialisme Islam juga untuk menandingi ideologi sosialisme yang terlanjur mendapat tempat di hati rakyat.

Secara umum, Dawam menganggap gagasan sosialisme Islam memang sulit dikembangkan termasuk gagasan Tjokroaminoto sendiri. “Kesulitan untuk berbicara apalagi mengembangkan teori sosialis, sekalipun berdasarkan Islam, adalah kenyataan bahwa gerakan politik, organisasi sosial dan kegiatan dakwah Islam di Indonesia, dari segi finansial, didukung oleh pengusaha dan pedagang yang beraspirasi ingin bisa meningkatkan skala ekonomi mereka. Dalam proses peningkatan itu mereka mengharapkan perangsang-perangsang moneter, fiskal dan institusional dalam kerangka sistem kapitalis yang berlaku,” demikian tulis Dawam.

Upaya merealisasikan gagasan sosialisme Islam ala Tjokro semakin sulit mengingat kondisi politik yang berkembang pada dekade tahun 1930-an mengalami perubahan. “Dalam dasawarsa 1930-an,” kata Dawam Rahardjo, “pergerakan tidak berbicara lagi mengenai sosialisme. Buku Tjokro gagal mengajak golongan terpelajar muslim, baik yang bergabung dalam Jong Islamisten Bond, maupun Studenten Islam Studieclub yang berdiri pada tahun 1936 untuk menggali ajaran sosial Islam dalam kerangka sosialisme.”

Kalau di tingkat realisasi gagasan, Tjokro kurang berhasil maka begitu pula dalam menjalankan kepemimpinan dalam tubuh SI. Menurut Dawam, Tjokro terlalu menekankan persatuan dan ingin menjadi pemimpin yang bisa berdiri di atas semua golongan. Tapi akibat sikapnya ini, Tjokro tidak berani menyingkirkan kubu komunis dalam SI.

Baru ketika Tjokro berada dalam tahanan, karena peristiwa Garut, duet kepimpinan Agus Salim – Abdul Muis, yang menguasai persidangan Kongres Nasional VI SI di Surabaya, berhasil melaksanakan tindakan disiplin partai kepada golongan komunis. Kubu komunis (dikenal dengan sebutan kubu merah) berhasil disingkirkan sekalipun mereka telah mendapat dukungan kuat dari cabang-cabang Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi dan Bandung. (Dawan Rahardjo: Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Mizan, Bandung, 1993).

Terlambatkah gagasan sosialisme Islam ini? Pengamat sosial keagamaan, Kuntowijoyo, melalui tulisannya “SI dan Pembaruan Pemikiran Islam” (Kompas, 7/6/95) mengatakan, kalau SI telah mengadakan pembaruan pemikiran dengan menawarkan ideologi sosialisme Islam, lalu dengan konsep apakah umat Islam di abad ke-21 ketika dihadapkan pada dunia industrialisasi?

Problem itu dimunculkan oleh Kuntowijoyo, karena pada awal Abad XX, ketika menghadapi kebangkitan kaum buruh, SI telah menghasilkan pembaruan pemikiran dengan ideologi sosialisme Islam. Waktu itu Islam keluar dari sejarah “alamiah” dan mencoba “merekayasa” sejarah, tetapi rupanya kurang berhasil. Dengan misi sosialisme-nya, SI memang punya komitmen kuat untuk memperjuangkan kepentingan “wong cilik” dan kaum buruh.

Tapi peran SI dalam memperjuangkan misinya dianggap too late and too little. SI kalah duluan dari marxisme dan kurang memuaskan kaum buruh yang sudah kehilangan kepercayaan pada kebaikan hati perseorangan. Yang mereka kehendaki adalah “kebaikan hati kolektif.”

Terlepas dari keterlambatan SI dalam mengambil peran itu, yang jelas dalam pandangan Kuntowijoyo, problem yang dihadapi umat Islam dewasa ini berbeda dengan yang dihadapi SI. Karena itu, pembaharuan pemikiran tidak lagi berkutat pada kerangka ideologis. Menghadapai abad XXI, pola berpikir ideologis harus diganti dengan pola berpikir ilmu. Solusi ini masih mengundang tanda tanya; benarkah akan demikian?

Kesimpulan

Berpijak pada analisa Dawam Rahardjo bahwa kesulitan dalam mengembangkan teori sosialis, karena yang mendukung gerakan politik, organisasi sosial dan kegiatan dakwah adalah pengusaha dan pedagang yang kapitalis, maka bisa dipahami jika hingga kini belum ada tokoh yang memunculkan partai sosialis yang berdasarkan Islam.

Jadi, sekali lagi, belum adanya tokoh Islam yang memunculkan partai sosialis berdasarkan Islam adalah karena ideologi yang akan memberikan dukungan finansial padanya nanti, bukan dari yang berideologi sosialis Islam, melainkan dari yang berideologi kapitalis. Disinilah tidak tepatnya Kuntowijoyo yang menyimpulkan perjuangan ideologi, dianggapnya sudah berakhir memasuki abad ke-21. buktinya pertarungan atas nama ideologi masih kental dalam kehidupan politik dan ekonomi.

Sumber: Muslim Net

Karl Marx: Perjuangan Kelas dan Revolusi

Oleh Gendhotwukir, 29-02-2008 04:18
Alur dan jalan pikiran teori-teori Karl Marx sulit dimengerti kalau kita tidak memahami latar belakang gagasan-gagasan dasar dari dua pemikir sebelumnya yang tentunya sangat berpengaruh bagi Karl Marx yaitu George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) dan Ludwig Feuerbach (1804-1871).
Prinsip terpenting yang diadopsi Karl Marx dari Hegel yaitu pendekatan dialektis terhadap segala gejala yang ada. Dialektika dimengerti sebagai, “kesatuan dari apa yang berlawanan“ atau sebagai “perkembangan yang berjalan dalam langkah-langkah yang saling berlawanan“. Oleh sebab itu dalam prinsip dialektika muncul beberapa istilah yang lantas menjadi kerangka kerja ilmiahnya yaitu tesis, antitesis dan sintesis. Karl Marx lantas menempatkan prinsip-prinsip dialektika Hegal dalam menelaah sejarah.
Bagi Karl Marx sejarah adalah gerakan ke kebebasan. Sejarah berjalan dalam loncatan-loncatan dialektis. Seperti Hegel, Karl Marx pun yakin bahwa sejarah mempunyai tujuan dan ia yakin pula bahwa kebebasan akan tercapai yaitu dalam masyarakat yang tanpa kelas. Dari Hegel Karl Marx menerima paham bahwa manusia merealisasikan dirinya sendiri di dalam pekerjaannya dan bahwa sejarah adalah karyanya.
Filsafat Feuerbach yang sangat berpengaruh sampai saat ini yaitu kritiknya terhadap agama.  Bagi Feuerbach, agama hanyalah suatu proyeksi manusia. Agama adalah tanda keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Oleh sebab itu, manusia harus meniadakan agama agar bisa keluar dari keterasingan itu. Karl Marx pada prisipnya tidak menolak kritik agama Feuerbach. Kritik Karl Marx yang dialamatkan pada Feuerbach yaitu bahwa Feuerbach tidak mempersoalkan mengapa manusia sampai mengasingkan diri dalam agama.
Karl Marx memberikan analisa tajamnya yaitu bahwa manusia terpaksa dan puas dengan perealisasian diri dalam agama saja karena keadaan masyarakat tidak mengijinkannya merealisasikan hakekatnya secara sungguh-sungguh. Tata-susunan masyarakat tidak memberi peluang bagi manusia untuk merealisasikan dirinya dengan sungguh-sungguh. Yang mendesak perlu diubah bagi Karl Marx yaitu keadaan masyarakat sekeliling yang menghalangi perealisasian hakekat manusia. Dengan demikian Karl Marx meninggalkan kritik agama dan mengarahkan elaborasinya pada masyarakat. Masyarakatlah yang harus diubah.
Berdasarkan kerangka ilmiah pemikir-pemikir sebelumnya, entah dengan alur pikiran yang searah maupun yang bertentangan dalam koridor kritik, Karl Marx menawarkan beberapa gagasan penting dan baru dalam ranah filsafat yang dalam tulisan ini hanya dibatasi pada beberapa gagasannya yaitu konsepsi tentang manusia, nilai guna dan nilai tukar, alienasi manusia, dan  perjuangan kelas dan revolusi.

Riwayat Hidup Karl Marx

Karl Marx lahir pada tahun 1818 di kota Trier di Jerman sebagai anak seorang pengacara Yahudi yang telah menjadi Kristen Protestan. Setamat SMA pada tahun 1836, ia selama satu semester belajar ilmu hukum di kota Bonn dan selanjutnya pindah ke kota Berlin untuk belajar ilmu filsafat. Selama di Berlin ia menjadi anggota kelompok orang intelektual muda yang menamakan diri Klub Doktor. Kelompok ini sangat terpengaruh  dan mengagung-agungkan seorang pemikir aliran idealisme yaitu G.W.F. Hegel yang meninggal di Berlin pada tahun 1931.

Pada tahun 1841 Karl Marx mendapat promosi menjadi doktor filsafat di Universitas Jena dengan tesisnya yaitu filsafat Demokrit dan Epikur. Tahun berikutnya Karl Marx menduduki jabatan pemimpin redaksi di sebuah harian progresif di Köln. Jabatan ini tidak bertahan lama karena adanya sensor dari Prussia. Ia terpakasa meninggalkan Jerman dan tinggal di Paris. Pada pertengahan tahun 1843 ia menikahi seorang puteri bangsawan yang bernama Jenny von Westphalen. Di Paris Karl Marx suka bergaul dan berkenalan dengan beberapa tokoh sosialis, di antaranya dengan Friedrich Engels (1820-1895) yang selama hidupnya menjadi sahabat karibnya. Di Paris inilah ia untuk pertama kalinya bertemu dengan kaum buruh yang sungguh-sungguh.
Selama di Paris Karl Marx menulis beberapa karangan penting yaitu “Tentang Masalah Yahudi”, “Pengantar Kepada Kritik Filsafat Hukum Hegel”, “Naskah-Naskah Paris tentang Filsafat dan Ekonomi Nasional” dan “Keluarga Suci”.
Pada tahun 1945 Karl Marx dan isterinya diusir oleh pemerintah Perancis. Mereka terpaksa pindah ke Brussel. Di Brussel mereka tinggal selama 2 tahun lebih dan selanjutnya pindah ke London. Pada tahun 1846 Karl Marx bersama Engels merumuskan pandangan materialis mereka tentang sejarah dalam sebuah karangan yang berjudul “Ideologi Jerman”. Pada permulaan tahun 1948 Karl Marx dan Engels menulis “Manifesto Komunis“ yang terkenal itu. Dua bulan  setelah “Manifesto Komunis” pecahlah di seluruh Eropa dengan apa yang dinamakan Revolusi ’48. Karl Marx memutuskan kembali ke Jerman dan mendirikan sebuah harian. Sayang, Revolusi ’48 itu gagal sehingga pada tahun 1849 Karl Marx terpaksa kembali lagi ke London dan menetap di sana untuk selamanya.
Di London pasca kegagalan Revolusi ’48, Karl Marx tidak memusatkan diri pada aksi-aksi praktis dan revolusioner. Ia kini memusatkan perhatiaannya pada hal-hal yang bersifat teoritis, khususnya pada ilmu ekonomi. Pada tahun 1857 Karl Mark mulai menulis sebuah buku yang ternyata baru bisa diterbitkan pada tahun 1938 dengan judul “Foundation of the Critique of Political Economy”. Buku setebal 1100 halaman ini berisi tentang masalah ekonomi dan perkembangan masyarakat. Pada tahun 1967 buku yang sangat terkenal dari Karl Marx yaitu “Das Kapital” jilid pertama terbit. “Das Kapital” jilid kedua dan ketiga baru diterbitkan oleh Engels setelah Karl Marx meninggal dunia.
Pada tahun 1864 partai-partai buruh nasional mendirikan Asosiasi Buruh Internasional.  Karl Marx masuk dalam anggota dewan. Di dalam asosiasi ini Karl Marx mengalami konflik dengan Mikail Bakunin dan akhirnya perselisihan itu menghacurkan eksistensi Asosiasi Buruh Internasional.
Hidup pribadi Karl Marx sebenarnya sangat memprihatinkan. Mereka menderita kekurangan dan kemlaratan. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa salah seorang anaknya mati karena kurang makan. Karl Marx tidak memiliki pendapatan yang tetap dan tidak tahu mengurus uang. Hidup keluarganya banyak disokong oleh sahabat karibnya yaitu Engel yang memiliki pabrik di Menchester.
Karl Marx besar adalah seorang yang keras kepala dan otoriter. Rekan-rekannya yang tidak suka dengan teorinya diserang dengan kata-kata yang bahkan menjelekkan nama dan kepribadian mereka. Ia bermusuhan dengan banyak teman sekerjanya. Hanya Engels yang sepertinya memahami dan mau menerima kepribadian Karl Marx. Di banyak buku Engels disebut sebagai sahabat karib Karl Marx. Tahun-tahun terakhir kehidupan Karl Marx sangat memprihatinkan. Ia banyak mengalami kesendirian dan kesepian. Karl Marx meninggal dunia pada tahun 1883 hanya diiringi oleh delapan orang yang berdiri di pinggir makamnya.

Konsepsi Tentang Manusia

Keprihatinan Karl Marx ialah manusia. Dalam beberapa naskah yang ditulisnya sekitar tahun 1932  ada indikasi bahwa Karl Marx muncul sebagai seorang pemikir humanis sejati. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya Karl Marx lebih condong pada hukum-hukum ekonomi dan sejarah, sejak tahun-tahun ini ia berkutat dengan konsepsi tentang manusia. Pada dasarnya manusia itu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Pandangan Karl Mark yang secara teori bagus ini pada kenyataan hidupnya berbeda. Keluarganya miskin dan sepertinya ia tidak mampu mengaplikasikan teorinya sendiri.

Manusia harus bekerja karena manusia harus memenuhi kebutuhannya. Hal demikian berbeda dengan binatang yang langsung dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari alam. Manusia harus merubah alam dan dengannya manusia baru bisa hidup. Pekerjaanlah yang membedakan manusia dari binatang. Menurut Karl Marx, manusia itu makhluk ganda yang aneh. Di satu pihak ia makhluk alam seperti binatang dan dipihak lain ia harus berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing baginya. Manusia tidak tergantung dari lingkungan alam, tetapi bisa mengolah seluruh alam demi tujuannya yang macan-macam. Pekerjaan itu tanda khas yang melekat pada manusia. Pekerjaan itu tanda bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan universal.
Sebagai makhluk yang bebas manusia tidak hanya melakukan apa yang langsung menjadi kecondongannya. Manusia menghadapi kebutuhan-kebutuhannya dengan bebas. Manusia itu universal karena ia tidak terikat pada lingkungan yang terbatas. Manusia dapat mempergunakan seluruh alam demi tujuan-tujuannya. Seluruh alam dapat menjadi bahan pekerjaannya. Ia berhadapan dengan alam secara universal. Bagi Karl Marx, hanya manusia yang dapat berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Pekerjaan adalah tanda martabat manusia.
Pekerjaan itu bagi manusia lebih dari sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan. Di dalam pekerjaan manusia merealisasikan dirinya sendiri. Hasil ukiran dari seorang pengukir mencerminkan kecakapan, kemampuan dan hakekat pengukirnya. Di dalam pekerjaan manusia mengambil dari bentuknya yang alamiah dan memberikan bentuknya sendiri kepadanya. Manusia mengobyektivasikan diri ke dalam alam melalui pekerjaannya. Produk pekerjaannya mencerminkan hakekatnya sendiri. Manusia kerasan di dalam alam karena dibenarkan hakekatnya. Dalam pelbagai pekerjaan manusia melahirkan bakat-bakatnya pada alam dan dengan demikian manusia merealisasikan dirinya sendiri.
Pada aspek lain, Karl Marx memandang bahwa pekerjaan merupakan tanda bahwa manusia itu mahkluk sosial. Manusia memerlukan orang lain. Pengakuan manusia lain dapat membuat seorang manusia bahagia. Pengakuan atas hasil kerja dari orang lain membuat seseorang menjadi bahagia dan merasa diakui. Pekerjaan adalah jembatan antara manusia yang selalu berinteraksi.
Karena pada dasarnya manusia itu mahkluk sosial, Karl Marx menolak baik individualisme maupun kolektivisme. Individualisme keliru karena manusia melalui bahasa dan pekerjaannya sudah sejak semula dibentuk dan dicetak masyarakat dan tidak dapat hidup tanpa adanya masyarakat. Kolektivisme juga keliru karena kolektivisme pada dasarnya memiliki implikasi menolak manusia dalam seluruh kekayaan hakekatnya yang konkret.

Nilai Tukar dan Nilai Guna

Karl Marx berpandangan bahwa nilai tukar sebuah barang sangat ditentukan oleh jumlah atau waktu yang diperlukan di dalam mengerjakan barang tersebut. Yang dimaksudkan dengan nilai tukar yaitu nilai sebuah barang kalau diperjual-belikan di pasar dan yang biasanya dinilai dalam ukuran jumlah uang. Sementara itu, nilai guna diukur dari gunanya suatu barang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Nilai guna tergantung dari macam barang dan kebutuhan di dalam masyarakat. Nilai guna tidak ditentukan oleh waktu yang diperlukan untuk membuatnya. Nilai tukar sebuah barang sangat ditentukan oleh intensitas pekerjaan di dalam mengerjakan sebuah barang. Sebuah barang yang pembuatannya membutuhkan waktu dua jam bernilai dua kali lebih tinggi dari barang lain yang hanya dikerjakan dalam waktu satu jam. Meski demikian, nilai sebuah barang tidak ditentukan oleh kerja individu, melainkan oleh apa yang dinamakan oleh Karl Marx dengan “waktu kerja sosial yang diperlukan“. Artinya, waktu yang rata-rata diperlukan dan dengan kepandaian tertentu untuk membuat barang tersebut di dalam masyarakat.

Berkaitan dengan nilai tenaga kerja, Karl Marx melihat bahwa tenaga kerja dalam sistem kapitalis dipandang sebagai barang dagangan. Karena si pemilik pabrik membutuhkan tenaga kerja untuk menjalankan mesin-mesinnya, ia membeli tenaga kerja itu di pasaran dan membayarnya menurut nilainya. Sayang, banyak pemilik pabrik yang membeli tenaga kerja dengan seenaknya. Menurut Karl Marx, nilai tenaga kerja perlu ditentukan oleh nilai semua barang yang dibutuhkan tenaga kerja supaya ia dapat hidup. Nilai tenaga kerja adalah nilai makanan, tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan lainnya dari si tenaga kerja dan keluarganya. Semua ini juga ditentukan oleh tingkat sosial dan kultural dalam masyarakat tertentu.
Dalam korelasi antara buruh (tenaga kerja) dan kapitalis, Karl Marx melihat adanya ketimpangan. Hal demikian digagas dalam ajarannya tentang nilai lebih. Nilai lebih adalah diferensi antara nilai yang diproduksi selama dalam jangka waktu tertentu oleh seorang tenaga kerja dan biaya kehidupannya sendiri. Seorang buruh supaya ia dan keluarganya bisa hidup dan memenuhi kebutuhannya selama sehari membutuhkan uang sebesar Rp. 8.000,-. Jadi, nilai tenaga kerjanya yaitu Rp. 8.000,-. Untuk nilai itu ia menawarkan tenaganya di pasaran. Si kapitalis yang membutuhkan tenaga kerja tersebut membelinya dengan harga yang diinginkan si tenaga kerja tersebut. Si kapitalis kini bisa mempergunakan tenaga kerja itu semaunya karena ia telah membelinya. Secara teori si kapitalis bisa mempekerjakannya selama 24 jam penuh. Tentu saja ia tidak akan melakukannya karena kualiatas tenaga orang tersebut akan menurun. Si kapitalis juga tahu bahwa tenaga kerjanya membutuhkan waktu untuk istirahat, rekreasi dan sebagainya. Si kapitalis lantas menyuruh orang tersebut untuk bekerja 8 jam sehari.
Kita andaikan bahwa orang tersebut dalam waktu 4 jam bisa menghasilkan barang yang berharga Rp. 8.000,-. Ini artinya bahwa sebetulnya sesudah 4 jam orang tersebut bisa berhenti bekerja karena ia sudah menciptakan nilai yang dibutuhkan supaya ia dan keluarganya dapat hidup. Tetapi karena ia sudah menjual tenaga  kerjanya maka ia harus bekerja 4 jam lagi. Waktu kedua dirampas oleh si kapitalis. Waktu kedua adalah nilai lebih. Waktu kedua oleh Karl Marx disebut nilai lebih karena waktu tersebut melebihi waktu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup si pekerja selama sehari. Kini pekerja tersebut dalam waktu 8 jam menghasilkan barang senilai Rp. 16.000,-  dan ia hanya mendapatkan Rp. 8.000,-.
Nilai lebih adalah keuntungan yang dikantongi si kapitalis. Dari contoh di atas, si kapitalis memperoleh keuntungan Rp. 8.000,- dalam sehari. Keuntungan itu dicurinya dari si tenaga kerja. Karl Marx menyebut keuntungan kaum kapitalis sebagai “nilai lebih yang dicuri”. Nilai lebih adalah satu-satunya sumber keuntungan bagi si kapitalis.

Alienasi Manusia

Di dalam agama manusia mengalami alienasi (keterasingan). Karl Mark tidak menolak kritik agama yang dilontarkan pendahulunya yaitu Feuerbach. Namun, Karl Marx kini telah meninggalkan kritik agama dan menawarkan gagasan yang baru dalam kaitan keterasingan manusia dalam koridor masyarakat. Karl Marx melihat bahwa manusia memang mengalami keterasingan yaitu dalam uang, pekerjaaan dan dari orang lain.

Uang adalah tanda keterasingan manusia. Seseorang bisa membeli segala barang dengan uang. Nilai yang terutama hanya nilai uang dan bukannya kekhususan barang yang telah dibeli tersebut. Barang tersebut lantas kehilangan nilai hakekatnya dan digantikan dengan nilai uang. Barang-barang alam kehilangan nilainya dan dengannya telah terasing dari manusia. Manusia membeli segala sesuatu demi uang. Relasi dengan sesama manusia pun banyak diukur dengan nilai uang. Uang mengasingkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Manusia tidak lagi saling menghargai tetapi hanya saling mempergunakan. Hal demikian mengarahkan pada sikap egois, dimana orang lain dipandang sebagai saingan atau hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kita.
Manusia juga terasing di dalam pekerjaannya. Meski manusia merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan pekerjaan itu bisa menggembirakan dan membuatnya bangga karena manusia dengannya menemukan kepuasan atas hasilnya, tetapi pada kenyataanya pekerjaan buat manusia telah menjadi pekerjaan paksa. Manusia bekerja karena itu satu-satunya jalan untuk menjamin nafkah hidupnya.
Keterasingan manusia dalam pekerjaaan dapat dilihat pada keterasingan manusia akan produknya. Hasil kerja manusia yang seharusnya menjadi kebanggaannya tidak dimilikinya. Produk itu milik orang lain yaitu si pemilik pabrik. Baru saja manusia membuatnya, produknya itu dirampas dari miliknya dan bahkan si pemilik pabrik menjualnya.
Di samping itu, manusia juga terasing dari tindakan pekerjaannya itu sendiri. Manusia (si buruh) tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pekerjaan yang akan mampu merealisasikan dirinya sendiri dalam pekerjaaan. Kesempatan untuk itu tidak dimungkinkan karena ia hanya bisa bekerja dimana ada tempat kerja dan dia sendiri tidak menguasai tempat-tempat kerja. Tempat itu dikuasai pemodal dan si buruh hanya menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan oleh pemodal itu. Dengan demikian pekerjaan kehilangan artinya. Kekhususan masing-masing pekerjaan sudah kehilangan arti baginya. Ia hanya bekerja sebagai alat untuk mencapai tujuan lain yaitu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Manusia yang menurut Karl Marx pada dasarnya bebas dan universal itu kini semakin terasing karena manusia terjebak dalam pekerjaan. Manusia bekerja seperti binatang yaitu demi satu tujuan supaya ia bisa hidup. Manusia melihat alam hanya dalam perspektif manfaatnya untuk mendapat uang. Dengan demikian, manusia tersebut mengasingkan hakekatnya yang bebas dan universal. Pekerjaan yang menyebabkan keterasingan ini pada umumnya yaitu pekerjaan upahan. Pekerjaan upahan adalah pekerjaan yang dijalankan hanya demi upah saja.
Pekerjaan upahan telah mengasingkan manusia darí orang lain karena di dalam sistem yang demikian lantas muncul kelas-kelas yang saling berhadapan dan bertentangan dan lalu saling membenci satu dengan lainnya. Di samping itu, pekerjaan upahan mengasingkan buruh di antara mereka sendiri. Hal ini terjadi karena mereka harus bersaing berebut tempat kerja. Karena keterbatasan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, sesama lantas menjadi saingan. Hal demikian menimbulkan jarak antar manusia dan dengannya manusia semakin terasing dari sesamanya.
Karl Marx mengajukan dua syarat agar masyarakat berkelas dapat dihapus yaitu: Pertama, cara produksi harus telah berkembang sedemikian rupa sehingga pembagian pekerjaan tidak perlu lagi. Kedua, harus telah berkembang suatu kelas yang berkepentingan untuk tidak hanya menggulingkan kelas yang berkuasa melainkan untuk menghancurkan sistem masyarakat berkelas itu sendiri dan mendirikan suatu masyarakat yang tidak ada kelasnya lagi.

Perjuangan Kelas dan Revolusi

Karl Marx melihat bahwa ketegangan antara tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan produktif terungkap dalam ketegangan antar kelas dalam masyarakat. Satu kenyataan  sosial yang tak terbantahkan yaitu bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelompok yang saling berhadapan secara tak terdamaikan yaitu antara kelas atas dan kelas yang tertindas.

Pertentangan kelas atas dan kelas yang tertindas tak dapat didamaikan karena bersifat obyektif. Pertentangan ini ada karena secara nyata dan tak terhindarkan masing-masing kelas ambil bagian dalam proses produksi. Di dalam proses produksi masing-masing kelas menempati kedudukannya masing-masing. Kelas atas berkepentingan secara langsung untuk menghisap dan mengeksploitasi kelas yang tertindas karena ia telah membelinya. Kelas atas menindas dan menghisap kelas bawah karena kedudukan dan eksistensi mereka tergantung dari cara kerja yang demikian. Sementara itu kelas yang tertindas berkepentingan untuk membebaskan diri dari penindasan dan bahkan berkepentingan menghancurkan kelas atas.
Perbaikan kelas-kelas tertindas tidak dapat dicapai melalui kompromi. Perbaikan tidak dapat diharapkan pula dari perubahan sikap kelas-kelas atas. Bagi Karl Marx, hanya ada satu jalan saja yang paling terbuka yaitu perjuangan kelas. “Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas,” demikian Karl Marx menegaskan dalam bukunya “Manifesto Komunis”. Sejarah umat manusia ditentukan oleh perjuangan antara kelas-kelas. Karl Marx menolak pendapat bahwa individu dengan kehendak individualnya dapat menentukan arah sejarah. Individu hanya melakukan apa yang merupakan kepentingan kelas mereka masing-masing. Perjuangan akan sungguh-sungguh apabila bersifat subyektif, yaitu apabila kelas-kelas yang tertindas menyadari keadaan mereka, menentangnya dan berusaha untuk mematahkan dominasi kelas-kelas yang berkuasa.
Pertentangan antar kelas terjadi karena adanya pertentangan kepentingan-kepentingan kelas-kelas yang ada. Satu jalan perjuangan kelas yaitu menghancurkan sistem yang menghasilkan kepentingan-kepentingan kelas atas. Tetapi, perubahan sistem itu dengan sendirinya pasti akan ditentang oleh kelas-kelas atas. Biasanya kelas atas mempertahankan sistem dengan cara memperalat kekuasaan negara. Kelas atas membenarkan kekuasaan negara secara moral dengan menyebarkan ideologi yang menunjukkan kesan bahwa negara dan tata-susunan masyarakat itu suci, tak terjamah dan perlu didukung demi kepentingan masyarakat.
Perubahan sejarah umat manusia dalam masyarakat hanya tercapai dengan jalan kekerasan yaitu melalui suatu revolusi. Karl Marx pada dasarnya menentang semua bentuk usaha untuk memperdamaikan kelas-kelas yang bertentangan. Reformasi pada kelas atas dan usaha pendamaian antar kelas hanya akan menguntungkan kelas penindas. Karl Marx menekankan bahwa perjuangan kelas yaitu penghancuran penindasan yang terjadi dalam masyarakat. Tidak mengherankan, dalam masyarakat kapitalis Karl Marx menekankan pentingnya revolusi proletariat. Revolusi proletariat yaitu usaha mencopot hak milik kaum kapitalis atas alat-alat produksi dan menyerahkannya kepada seluruh rakyat.

Kesimpulan dan Kritik

Karl Marx memahami manusia sebagai person yang tidak boleh diperalat atau memperalat diri karena manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Manusia adalah bebas dan universal. Manusia harus merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan tidak boleh diperbudak oleh pekerjaan.

Karl Marx berhasil menyuarakan suatu masalah yang dirasakan manusia-manusia modern yaitu keterasingannya dalam masyarakat tehnologi. Kelemahan Karl Marx bukannya karena ia memandang pekerjaan sebagai tindakan dasar manusia, melainkan karena ia menganggap sebagai satu-satunya. Karl Marx tidak melihat bahwa interaksi yaitu komunikasi antar manusia adalah tindakan yang penting juga (Jürgen Habermas). Habermas yakin bahwa keterasingan tidak akan hilang hanya karena perubahan sistem. Faktor komunikasi memainkan peranan penting untuk mengurangi keterasingan dengan jalam reformasi di dalam sistem.
Karl Marx berpandangan bahwa suatu pengurangan penindasan di dalam sistem yang ada (reformasi) tidaklah mungkin. Baginya, penindasan hanya dapat dipatahkan dengan sebuah revolusi. Kelemahan Karl Marx di sini yaitu bahwa buruh-buruh di beberapa negara kapitalis dapat memperjuangkan kemajuan mereka tanpa melalui suatu revolusi. Karl Marx tidak bisa melihat kemungkinan ini karena ia berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan kelas atas dan kelas yang tertindas tidak akan pernah dapat diperdamaikan. Kekeliruan mendasar Karl Marx yaitu bahwa borjuasi sebagai kelas atas tidak mau mencari damai. Pada kenyataannya kelas atas menyadari kerugian kalau ada revolusi. Oleh sebab itu mereka bersedia untuk mengurangi penghisapan, memperbaiki syarat-syarat kerja, membagi kekuasaan politik dengan kaum buruh dan bahkan memberi hak kepada kaum buruh untuk ikut menentukan kebijakan perusahaan.***

Bibbliography

Baskara T. Wardaya, F.X, 2003. Mark Muda: Marxisme Berwajah Manusiawi: Menyimak Sisi Humanis Karl Marx Bersama Adam Scahft. Yogyakarta: Buku Baik.

Berlin, Isaiah, 2000   Biografi Karl Marx. Surabaya: Pustaka Prometheus.
Brouwer, Drs. M.A.W.,  1980.  Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman. Bandung: Penerbit Alumni.
Chambre, Henri, SJ, 1963.  From Karl Marx to Mao Tse-Tung. A systematic survey of Marxisme-Leninisme. New York: Kenedy.
Cohen, G.A., 1978. Karl Marx`s theory of history. Oxford: Clarendon Press.
Duden, 2001.  Philosophie. Mannheim: Duden Verlag.
Hardiman, F. Budi, 2004. Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hirschberger, Johannes, 1980. Geschichte der Philosophie Band II (Neuzeit und Gegenwart). Köln: Komet.
Magnis Suseno, Von, SJ, 1977. Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme. Jakarta: S.T.F. Driyarkara.
—–, 1992. “Karl Marx”, dalam F.X. Mudji Sutrisno (Ed.) Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius.
—–, 1992. “Marxisme dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt” dalam F.X. Mudji Sutrisno (Ed.) Para Filsuf  Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius.
—–, 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Scruton, Roger, 1986. Sejarah Singkat Filsafat Modern, Dari Descartes sampai Wittgenstein. Jakarta: P.T. Oantja Simpati.
Ziegenfuß, W., 1949. Philosphen-Lexikon; Handwörterbuch der Philosophie nach Personen. Berlin: de Gruyter.

Gendhotwukir, Penyair dan Jurnalis. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tulisan ini  merupakan karya ilmiah dan sumber-sumber pendukung ada di penulis (kalau bibliography tidak dicantumkan).